http://images.detik.com/content/2015/04/28/319/ecommerce.jpg

Menjelang pelaksanaan pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di akhir 2015, banyak yang memprediksi Indonesia akan menjadi market yang potensial bagi negara lain untuk menjual barangnya. Salah satunya melalui e-commerce.

“Kondisi ini tidak bisa kita elakkan. Orang-orang dari luar Indonesia akan berduyun-duyun datang ke Indonesia. Tujuan mereka cuma satu, menguasai pasar Indonesia. Mau tidak mau, kita harus berbenah agar mampu menjadi tuan di rumah sendiri,” ujar Fajrin Rasyid, Co-Founder & CFO Bukalapak.com di Jakarta, Selasa (28/4/2015).

Bisnis e-commerce di Indonesia berkembang pesat dalam lima tahun terakhir. Hal itu terlihat dari hasil riset yang diprakarsai oleh Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA), Google Indonesia, dan TNS (Taylor Nelson Sofres).

Riset itu memperlihatkan bahwa pada 2013 lalu nilai pasar e-commerce Indonesia yang mencapai USD 8 miliar atau sekitar Rp 94,5 triliun, diprediksi naik tiga kali lipat menjadi USD 25 miliar atau sekitar Rp 295 triliun di tahun 2016.

Potensi ini dibarengi dengan jumlah pengguna internet yang mencapai angka 82 juta orang atau sekitar 30% dari total penduduk di Indonesia. Ini membuat pasar e-commerce menjadi tambang emas yang sangat menggoda bagi sebagian orang yang bisa melihat potensi ke depannya.

Bagi e-commerce lokal, salah satu langkah untuk berbenah, menurut Fajrin, adalah dengan memaksimalkan potensi bisnis e-commerce yang telah terbukti pertumbuhannya terus meningkat.

Apalagi, jual-beli online ini hanya butuh modal kecil namun hasilnya bisa besar — low cost high impact. “Di era seperti sekarang ini, semua orang bisa sukses menjadi online seller,” ujarnya.

Meski demikian, Fajrin mengingatkan calon pelapak atau penjual online agar mempelajari secara detil media e-commerce-nya. Pasalnya, selama ini dikenal dua kategori dalam e-commerce, yakni Classified Media dan Transaction Platform. Untuk yang terakhir, dikenal adanya konsep C2C (personal), lalu small B2C, B2B2C dan terakhir B2C.

“Bukalapak merupakan marketplace (C2C) yang melibatkan pelapak dan pembeli secara langsung,” ujarnya. “Masing-masing media tersebut memiliki keunggulan dan kelemahannya.”

Di sisi lain, bagi mereka yang ingin mengelola perusahaan e-commerce agar segera memulai usahanya dan tidak menunda lagi. Harus ada keyakinan bahwa peluang besar bisnis e-commerce itu terbuka lebar.

Ini bisa dilihat dalam beberapa tahun terakhir dimana banyak sekali perusahaan online didirikan. Produk yang ditawarkan sangat beragam, mulai dari mode/fashion, peralatan elektronik, alat-alat rumah tangga dan lain-lain.

Apalagi, data idEA menyiratkan bahwa di akhir 2015 pengguna internet di Indonesia akan mencapai 125 juta orang, sebuah lonjakan besar dari 55 juta pengguna tahun 2012. Pengamatan ini berdasarkan pertumbuhan kelas menengah yang makin luas sekaligus menjadi kekuatan pendorong yang sangat besar.

“Jangan lupa melakukan benchmarking dengan pemain-pemain e-commerce yang sudah eksis dan tumbuh besar. Ini juga harus didukung dengan berbagai keunggulan produk yang dijual di lapak,” ujarnya.

Saat ini, Bukalapak memiliki jumlah pelapak yang telah lebih dari 200.000, melonjak dibandingkan saat berdiri pada 2010 dimana hanya 6.500 pelapak. Sedangkan pengunjung Bukalapak kini telah mencapai lebih dari 1 juta orang setiap harinya.

Kinerja Bukalapak juga telah mengundang sejumlah investor untuk menaruh dananya. Setelah mendapatkan investasi pertama dari Batavia Incubator pada 2010, kemudian datang investasi selanjutnya dari Aucfan, IREP, 500 Startups, dan GREE Ventures (serie A). Terakhir, pada Februari 2015, Bukalapak mendapatkan investasi serie B dari Emtek Group.

“Semua ini tak lepas dari keunggulan produk yang kami tawarkan, tim internal yang solid dan pangsa pasar Bukalapak yang terus membesar. Meski demikian, kami tidak pernah puas dengan hasil yang kami capai selama ini. Kami terus bekerja dan bekerja untuk membesarkan Bukalapak,” pungkasnya.

sumber : detik.com

Leave a Comment